Mengenal Makna ‘Shaum’, ‘Shiyam’, dan ‘Ramadhan’

Untuk umat Islam, puasa tak sekadar keharusan, namun juga kesibukan sosial budaya. Sejak mulai leluhur kita, puasa membuat pelbagai ragam pertanda sosial di kelompok penduduk Indonesia, umpamanya ziarah simpan, berkunjung, munggahan, nyorog, dugderan, malamang, bersih-bersih masjid, tadarus, jaburan, tarawih, serta bursa pasaran atau pasanan yang dilakukan di pesantren-pesantren. Tradisi-tradisi ini berubah menjadi ikon kesibukan penyucian jiwa serta penambahan mutu diri dihadapan Allah dalam menyongsong bulan suci Ramadhan serta mengerjakan beribadah puasa. Di leluhur kita, makna puasa punyai variasi istilah sama dengan wilayah serta lokasi semasing.

Simak Juga : morfologi tumbuhan

Akan tetapi, makna shaum atau shiyam berubah menjadi yang tenar dimanfaatkan berkat ke dua kata ini sebagai diksi asli dari perintah keharusan berpuasa, sama seperti yang termaktub dalam Al-Qur’an. Dijelaskan dalam buku al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadzil Quranil Karim karya Muhammad Fuad Abdul Baqi (1882-1968 M) , kalau kata shaum itu 1 kali dalam Al-Qur’an, ialah pada Surat Maryam : 26, dan kata shiyam ulangi sejumlah delapan kali. Kata shiyam menyebar di Surat al-Baqarah : 184, 187, 196 (kedua kalinya) , an-Nisa : 92, al-Maidah : 89 serta 95, dan al-Mujadilah : 4. Sebaran kata shiyam ini punyai maksud yang beraneka, baik jadi keharusan membayar fidiah, diat, atau kafarat. Disamping itu, kata shiyam yang menunjuk terhadap puasa Ramadhan ada pada Surat al-Baqarah 184 serta 187. Ayat 184 menjelaskan keharusan puasa Ramadhan, dan ayat 187 memperjelas peraturan kesibukan puasa. Tidak cuman dua kata itu, Al-Qur’an pun menampung derivasi lain dari kata shaum serta shiyam, ialah tashûmû (al-Baqarah : 185) serta falyasumh (al-Baqarah : 185) , yang termasuk juga category fiil mudhari’, kata kerja berarti tengah atau bakal, dan asshâimin serta as-Shâimât (Alahzab : 95) yang menunjuk pada pemeran puasa bentuk plural buat pria serta wanita. Dengan cara etimologi, sama seperti dalam kamus al-’Ayn, kamus pertama dalam peradaban Islam karya Khalil bin Ahmad Al-Farahidi (718 – 789 M) , shaum maupun shiyam terbuat dari akar kata صام – يصوم yang bermakna imsâk (membendung) , shamt (diam tak bicara) , rukûd (diam tak bergerak) , serta wuqûf (berhenti) .

Artikel Terkait : mitokondria adalah

Jadi ke dua kata itu dengan cara bahasa bermakna tinggalkan atau mungkin tidak makan-minum, tak berkata, serta tak mengerjakan aktivitas apa pun. Arti harfiah ini setelah itu berubah menjadi arti pakem yang menempel pada makna shaum serta shiyam hingga sekarang ini, sama seperti yang termaktub dalam kamus kontemporer al-Mu’jam al-Wasîth karya Majma’ul Lughah al-Arabiyah Mesir. Apabila dua kata di atas punyai acuan arti literal yang sama, kenapa Al-Qur’an lebih menentukan kata syiam buat memberikan arti kesibukan keharusan puasa pada Surat al-Baqarahayat 184 serta 187? Dalam disiplin pengetahuan shorof atau morfologi Arab, ada teori yang mengemukakan kalau زيادة المعنى تدلّ على زيادة المعنى (bentuk kata memberikan sifat arti) . Kata صوم punyai tiga huruf, dan صيامterdiri dari empat huruf. Oleh sebab itu, kata shiyam punyai arti yang lebih dalam ketimbang kata shaum. Bahkan juga ada sejumlah kelompok yang mengetahui kandungan makna ke dua kata itu. Sebagimana dilansir oleh Alhasan bin Abdillah bin Sahl bin Said, yang kondang dengan panggilan Abu Hilal Al’askari (920 – 1005 M) dalam al-Furuq fi al-Lughah, kata shiyam punyai makna membendung diri dari perihal yang menghentikan (makan, minum, jimak) dengan diikuti tekad, dan kata shaum berarti tinggalkan perihal yang menghentikan puasa atautidak berkata. Ketaksamaan ini berdasarkan pada Surat Maryam ayat 26, ialah : فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا ۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنسِيًّا “Maka, konsumsilah (buah kurma itu) , serta minumlah (dari air telaga itu) dan bersenang hatilah (dengan kelahiran anakmu) . Apabila engkau (Maryam as. ) menyaksikan seseorang manusia (serta ajukan pertanyaan kepada kamu terkait keadaanmu) , jadi katakanlah : “Sesungguhnya saya udah bernazar berpuasa (tak berkata) buat Tuhan Yang Maha Pemberi Kasih, jadi saya akan tidak berkata dengan (seseorang) manusia (lantas) dalam hari ini. ” Berdasarkan ayat di atas, bahkan juga pembedaan ke dua kata di atas kerap berubah menjadi tajam. Shiyam sebagai makna privat buat puasa tak makan-minum, dan shaum buat puasa tak berkata, sampai penyebutan puasa Ramadhan dengan shaum kadangkala dikira salah. Hakikatnya, kata shaum pada ayat di atas berarti netral, tak cenderung ke makna tak makan-minum atau mungkin tidak berkata. Akan tetapi arti tak berkata ada pada kalimat kemudian juga dapat dukungan oleh kalimat diawalnya ayat. Oleh karena itu, batasi kata shaum dengan arti puasa berkata nampaknya kurang pas. Dalam sabda-sabdanya, Rasulullah Saw. kerapkali memanfaatkan makna shaum serta shiyam buat menunjuk arti kesibukan puasa Ramadhan yang kita tahu seperti saat ini. Sejumlah sejarah memberikan perihal itu, mirip contoh pada redaksi hadits-hadits berikut : كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ . . . . . (رواه البخاري ومسلم) ـ كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصَوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ . . . . . (رواه البخاري) ـ “Setiap amal aksi manusia buat diri sendiri terkecuali puasa. Kenyataannya puasa itu untuk-Ku serta Aku-lah yang bakal membalasnya. ” صُمْ أَفْضَلَ الصَّوْمِ، صَوْمَ دَاوُدَ، صِيَامَ يَوْمٍ وَإِفْطَارَ يَوْمٍ . . . . . (رواه البخاري) ـ “Puasalah dengan puasa terhebat, ialah suka Nabi Daud ; puasa satu hari serta tak puasa satu hari. ” Pada redaksi hadits di atas, baik dalam dua sejarah yang tidak sama ataupun yang satu sejarah, kata shaum serta shiyam dimanfaatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam buat menunjuk terhadap arti kesibukan membendung lapar serta dahaga dan masalah yang menghentikan puasa yang lain. Kitab Muaththa` Imam Malik, Musnad Imam Syafi’i, serta Sahih Imam Muslim condong lebih menentukan kata shiyam (كتاب الصيام) buat menamai judul atau bab perihal puasa, sesaat Sahih Imam Bukhari serta Musnad Imam Ahmad (yang udah diatur sesuai sama bab fiqih) menentukan diksi shaum (كتاب الصوم) dalam penamaannya. Walaupun demikian, kitab-kitab itu terus memanfaatkan ke dua diksi itu dalam sub-sub judul terkait puasa, semestinya dengan persentase yang berlainan. Variasi pemaknaan ini sesungguhnya dapat diuraikan titik temunya dengan menyaksikan arti basic ke dua kata itu sama seperti udah diterangkan di atas. Kata shaum punya sifat umum, apa pun bentuk puasa dapat dikatakan shaum, dan shiyam lebih punya sifat privat dalam faktor ruh maknanya. Perihal ini butuh diutamakan lantaran ketaksamaan arti tetap juga ada di dalam persamaan kata sekalinya, namun bukan pada redaksi pemaknaannya, namun pada faktor puasayang syari’dengan semua peraturannya sampai dimanfaatkan Allah Swt. dalam Al-Baqarah ayat 183 serta 187. Tidak sama dengan arti shaum atau shiyam dengan cara etimologi, dalam area syri’at atau disiplin fiqih, ke dua kata itu dengan cara makna tak menyebabkan ketaksamaan yang bermakna. Shaum atau shiyam dalam fiqih Islam dimaknai jadi kesibukan membendung diri, dengan diikuti tekad, dari makan, minum, terjalin tubuh, serta semua hal yang menghentikan sejak mulai terbitnya fajar hingga tenggelam matahari. Bisa saja dari sisi pandang tasawuf tidak sama serta lebih dalam dengan sentuh faktor etik sufistik, namun perihal itu tidak bisa membebaskan diri dari arti puasa di atas yang lebih punya sifat fisik. Ramadhan Puasa dalam Islam punyai banyak ragamnya, namun cuma puasa Ramadhan yang menyimpan semua ragam keperluan nilai politik, sosial, ekonomi, serta budaya. Puasa Ramadhan pun bisa membuat situasi psikologis jiwa-jiwa manusia yang “berbeda” dalam masa waktu 1 bulan saja serta sebagian besar dari mereka kembali lagi “habitat”karakter aslinya di sebelas bulan yang lain. Oleh sebab itu, Ramadhan sebagai bulan “perbaikan diri”, buat hindari dari merek negatif jadi bulan kepura-puraan Kebiasaan puasa tidak hanya dalam Islam, udah ada sejak mulai sebelum Islam datang. Bahkan juga jadi mana pada cuplikan hadits di atas, Nabi Daud punyai kebiasaan satu hari puasa satu hari tak. Bangsa Mesir, Yunani, Romawi, Cina, serta yang lain pun punyai kebiasaan puasa dengan tata trik serta maksud yang berlainan. Begitu juga para Yahudi serta Nasrani. Mereka punyai kebiasaan puasa juga. Para Quraisy pada waktu Jahiliyah pun melaksanakan puasa ‘Asyura sama seperti para Yahudi. Puasa ‘Asyura pun dilaksanakan oleh Rasulullah sebelum akan di Makkah serta di Madinah. Akan tetapi, seusai diwajibkannya puasa Ramadhan, puasa ‘Asyura berubah menjadi suatu kesunnahan saja. Puasa Ramadhan dalam Islam harus pada tahun 621 Masehi atau tahun ke dua seusai pindah atau tahun ke-14 masa kenabian. Ini disinyalir dengan turunnya Surat al-Baqarah ayat 183 di Madinah, sama seperti termaktub dalam kitab Tarikh Tasyri’ Alislamy karya Muhammad bin ‘Afifi al-Bajury, yang diketahui nama Muhammad Khudory Bik (1872–1927 M) . Bulan Ramadhan yang itu 1 kali dalam Al-Qur’an, udah ada sebelum Islam ada atau saat Jahiliyah lantaran penamaan bulan-bulan hijriah mengambil dari kebiasaan penanggalan bangsa Arab pra-Islam. Bulan Ramadhan pada waktu Jahiliyah sebagai bulan mulia untuk penduduk Jazirah Arab. Kholil Abdul Karim (1930-2002 M) dalam al-Judzûr at-Aurikhiyah lis Syariu’ah al-Islâmiyah mengemukakan kalau kakek Rasulullah serta paman Umar bin Khattab, ialah ‘Abdul Muththalib serta Zaid bin Amr bin Nufail senantiasa ber-tahnnus (beribadah) di gua Hira pada sertiap bulan Ramadhan, bersedekah, serta berderma makanan. Kebiasaan tahannuts ‘Abdul Muththalib ini setelah itu ditiru oleh cucunya hingga datangnya wahyu pertama, yang turun ketika bulan Ramadhan. Dengan cara bahasa, dalam kamus al-’Ayn serta al-Mu’jam Al-Wasith, Ramadhan datang dari kata رَمَضَ yang bermakna panasnya batu lantaran sengatan cahaya matahari, panas yang membakar, serta hujan yang turun sebelum musim gugur. Jadi Ramadhan lekat dengan makna panas lantaran memang penamaan bulan-bulan Arab pra-Islam didasarkan pada fakta sosial serta cuaca geografisnya. Lebih kurang dua zaman sebelum Islam, Kilab bin Murroh, satu diantara leluhur Nabi Muhammad menganjurkan penamaan bulan-bulan dalam metode penanggalan bangsa Arab. Satu diantara nama bulan itu yaitu Ramadhan. Ahmad Bijaksana Hijazi Abdul Alim (1959 – saat ini) dalam Asmâus Syuhur al-’Arabiyah berasumsi kalau, penamaan bulan-bulan hijriyah ada yang berlatar belakang religi (Muharam serta Dzul Hijjah) , sosial (Safar, Sya’ban, Syawwal, Dzul Qa’dah) , sosial-religi (Rajab) , sosial-ekologis (Rabiul Awal, Rabuil Akhir, Jumada Ula, Jumada Tsaniyah) . Disamping itu, latar penamaan bulan Ramadhan punya sifat ekologis-geografis, sama dengan situasi cuaca musim panas di daerah Arab kala itu yang diketahui dengan makna ramdha, satu akar kata dengan Ramadhan. Tidak hanya itu, mengambil Imam Qurthubi, Ramadhan pun disebut yaitu bulan pemanasan dengan mempertajam senjata jadi persiapan buat perang di bulan Syawal, sebelum masuk tiga bulan suci kemudian yang di sepakati haram perang. Alasan-alasan penamaan Ramadhan di atas di pandang lebih masuk akal lantaran bersumber dari fakta geografis serta sosial bangsa Arab pra-Islam walaupun tak sama dengan fakta dewasa ini. Ramadhan era kiwari tidak mesti seiring dengan pada musim panas lantaran Ramadhan berpatokan pada gerakan bulan, bukan matahari. Oleh sebab itu, biar arti Ramadhan punyai korelasi dengan arti dasarnya, ada sejumlah argumen baru yang condong agamis lantaran keharusan puasa di bulan itu, walaupun dengan cara bahasa bisa diterima. Pada argumentasi itu yaitu lantaran Ramadhan sebagai bulan pelebur serta pembakar dosa-dosa atau lantaran pencernaan orang yang berpuasa merasa panas berkat lapar serta dahaga, serta ada juga yang merasa kalau Ramadhan satu diantara nama Allah Swt. , sampai penduduk Arab pra-Islam begitu berhati-hati serta hindari pemanfaatan kata Ramadhan dipertemukan dengan diksi syahr (bulan) .

Leave a comment